” 18 PERKARA PILKADA DIPUTUS MK BESOK PARTAI BURUH YAKIN MENANG”

KabarNewsOne, Jakarta – Mahkamah  Konsitusi (MK), akan memutuskan serta mengumumkan  ada 18 perkara uji materiil UU Pilkada serentak undang-undang, terkait aturan pilkada yang akan dibacakan putusannya oleh MK, besok (20/8/2024).

Setidaknya ada sepuluh isu konstitusionalitas yang diuji oleh para pemohon, yaitu, pertama, terkait syarat usia calon (7 perkara). Kedua, syarat calon Petahana (3). Ketiga, syarat pendidikan calon (1). Keempat, syarat calon mantan terpidana (1). Kelima, syarat perbuatan tercela bagi calon mantan terpidana kasus korupsi (1).

Keenam, syarat pengunduran diri bagi calon yang berasal dari anggota legislatif (1). Ketujuh, syarat calon Orang Asli Papua di Provinsi Papua (1). Kedelapan, aturan perpanjangan masa pendaftaran untuk calon perseorangan apabila hanya ada satu paslon (1). Kesembilan, aturan kampanye yang melibatkan pejabat, petahana, dan pelaksanaannya di lingkungan kampus (3).

Isu yang kesepuluh adalah terkait aturan pengusulan pasangan calon oleh parpol yang tidak memperoleh kursi DPRD (parpol non-seat) yang diajukan oleh Partai Buruh bersama Partai Gelora pada perkara nomor 60/PUU-XXII/2024.

Sebagai pihak pemohon, kami sangat yakin Mahkamah akan mengabulkan perkara kami setidaknya karena enam alasan. Pertama, aturan yang membatasi parpol non-seat untuk ikut mengusulkan paslon sudah dua kali dibatalkan oleh MK di tahun 2005 dan 2007.

Putusan tersebut pada pokoknya menentukan bahwa parpol peserta Pemilu, terlepas memperoleh atau tidak memperoleh kursi DPRD, mempunyai hak yang sama untuk mendaftarkan paslon. Bagi parpol non-seat, pengajuan paslon dapat dilakukan dengan menggunakan perolehan paling sedikit 25% suara sah hasil pemilu terakhir.

Kedua, pada pelaksanaan pilpres untuk memilih pemimpin eksekutif tertinggi negara, parpol non-seat (tidak memperoleh kursi DPR RI) diperbolehkan ikut mengusung Capres-Cawapres sepanjang memenuhi ambang batas suara. Maka menjadi tidak masuk akal melarang parpol non-seat (tidak memperoleh kursi DPRD) untuk ikut mengusung calon pemimpin eksekutif daerah di pilkada.

Ketiga, persyaratan bagi paslon perseorangan lebih ringan dibandingkan dengan persyaratan kepada parpol yang mengusung paslon dengan menggunakan perolehan paling sedikit 25% suara. Sehingga, sangat tidak adil dan tidak beralasan menurut hukum apabila memperbolehkan calon perseorangan pada satu sisi dan melarang parpol non-seat mengajukan paslon menggunakan suara yang persyaratannya jauh lebih berat.

Contoh, di Pilkada Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, paslon perseorangan hanya dipersyaratkan menyerahkan bukti dukungan sebanyak 21.101 KTP pemilih. Sedangkan bagi parpol yang mengajukan paslon dengan menggunakan perolehan paling sedikit 25% suara (termasuk untuk parpol non-seat), dipersyaratkan harus memiliki 39.000 suara sah pemilih di Pemilu 2024.

Keempat, perubahan konsep pilkada tidak serentak (2005 – 2013) dan pilkada serentak (2015 – sekarang) tidak ada relevansinya dengan hak parpol dalam mengusulkan pasangan calon.

Kelima, perubahan aturan dalam pengusulan paslon yang membatasi hak parpol non-seat tidak memenuhi kualifikasi “kebijakan hukum terbuka” (open legal policy) dari pembentuk undang-undang, sebagaimana yang dipersyaratkan oleh MK.

Keenam, alasan pembatasan hak asasi manusia terkait hak memilih (right to vote) dan hak dipilih (right to be candidate) sebagaimana dibenarkan menurut UUD 1945, tidak dapat dijadikan dasar pembenar oleh pembentuk undang-undang karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh MK.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka setelah MK memutuskan parpol non-seat diperbolehkan ikut mengusung paslon, konstelasi dukungan parpol terhadap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang saat ini sudah mulai meng-install sangat mungkin akan mengalami perubahan.,” terangnya.(Yah)