2021 gelombang besar PHK masal, Akibat Pandemi.

Kabar.Jkt- Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal. Menyampaikan outlook tahun 2021 terkait isi ketenagakerjaan. Menurutnya, ada potensi ledakan pemutusan hubungan kerja (PHK) di 2021 akibat resesi ekonomi berkepanjangan imbas pandemi Covid-19.

“Gelombang PHK pada 2021 akan menimpa sektor manufaktur, baik yang padat karya maupun padat modal.

Dalam kaitan dengan itu, KSPI tidak meyakini pernyataan pemerintah yang memastikan bakal ada peluang tercipta lapangan kerja baru yang dihasilkan dari komitmen para investor luar negeri tahun depan. Karena yang terjadi adalah perpindahan dari karyawan tetap yang di PHK, kemudian bekerja kembali dengan sistem kerja kontrak dan outsoursing. Bahaya Covid-19 juga tetap menghantui buruh di 2021.

Saat ini sudah ada puluhan orang anggota dan pengurus KSPI meninggal karena virus Corona tersebut. Di sisi lain, protokol kesehatan di pabrik-pabrik pun tak sepenuhnya bisa diterapkan. Hanya pemakaian masker yang relatif dijalankan, sedangkan physical distancing mulai longgar.

Ancaman Covid-19 disebutnya akan menurunkan produktivitas, sehingga berdampak ke penurunan produksi dan pertumbuhan ekonomi.

Pada tahun 2021 masih akan diwarnai gelombang penolakan kaum buruh terhadap omnibus law UU Cipta Kerja. Beberapa hal yang dipermasalahkan di dalam UU Cipa Kerja adalah kebijakan upah murah dengan hilangnya UMSK dan UMK bisa naik bisa tidak. Bahkan kalaupun UMK naik, diprediksi setiap tahun naik upah hanya berkisar 50 – 150 ribu rupiah per bulan sesuai inflansi atau pertumbuhan ekonomi daerah.

“Selain itu, yang dipermasalahkan buruh adalah karyawan kontrak seumur hidup tanpa masa depan karena batas waktu dan periode kontrak dihapus,” lanjutnya.

Kemudian, outsourcing seumur hidup karena tidak dibatasi jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing. Bahkan kegiatan pokok boleh mengggunakan pekerja outsourcing sehingga bisa saja terjadi dalam satu perusahaan 99% karyawannya outsourcing yg direkrut melalui agen outsourcing dan hanya 1% saja karyawan tetap.

Dengan disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja maka negara telah lalai melindungi pekerja/buruh indonesia dengan membiarkan berlakunya Upah Murah, Karyawan Kontrak Seumur Hidup, Outsourcing Seumur Hidup tanpa masa depan.

“Dimana Negara? Dimana Pemerintah? Pasar Tenaga Kerja menjadi Liberal, minimnya perlindungan negara untuk buruh yang sedang bekerja dan para anak muda yg akan memasuki pasar kerja. Mari berjuang bersama lindungi masa depan anak-anak kita yang akan bekerja dan para yang sedang bekerja,” kata Said Iqbal.

“Mengurangi penganguran dan memperluas lapangan kerja bukan berarti negara mengabaikan perlindungan dan kesejahteraan buruh maupun orang yg akan bekerja menjadi buruh dalam pasar kerja.”

Permasalahan lain, di dalam UU Cipta Kerja nilai pesangon dikurangi. Kalaulah ada sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar pesangon tidak akan bisa berjalan di lapangan. Sebagai contoh, di UU No 13 Tahun 2003 juga ada ketentuan jika pengusaha yang tidak membayar upah minimum maka akan dipidana 1 tahun. Tetapi faktanya nyaris tidak ada pengusaha yang dipidana karena membayar upah buruh di bawah upah minimum. Hal yang sama juga akan terjadi dalam kadus pesangon, “sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak bayar pesangon hanya gula gula pemanis bibir”.

Kemudian, TKA atau Tenaga Kerja Asing unskill worker (buruh kasar) juga berpotensi akan massif masuk ke Indonesia. Karena di dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja, surat izin tertulis Menaker wajib dimiliki bagi TKA yang akan bekerja di indonesia dihapus. Dan diganti dengan kalimat mendapat pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing.

“Akibatnya, menurut serikat buruh, tidak ada alat kontrol negara terhadap seberapa besar potensi buruh kasar TKA akan masuk dan bekerja di indonesia. Hal ini berpotensi dapat mengancam lapangan kerja bagi pekerja lokal,” tegasnya.

Hal yang lain, Pasal 79 ayat 2c dan 2d di UU nlNo 13/2003 tentang ketenagakerjaan dihapus oleh UU omnibus law. Dengan demikian, ketika pekerja akan mengambil cuti tahunan, buruh berpotensi tidak menerima upah. Selain itu, cuti panjang juga terancam hilang karena bukan lagi kewajiban yang harus diberikan oleh perusahaan.

Mengenai PHK, kalimat PHK terhadap buruh/pekerja akan “batal demi hukum” bilamana belum ada penenapan peradilan perburuhan PHI sebsgaimana termaktub dalam UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan juga dihapus. Sehingga akan mempermudah PHK. Tidak ada lagi kepastian pekerjaan”job security” dan tidak ada kepastian mendapatkan upah “income security”. Omnibus Law ini terlalu melindungi kepentingan pemilik modal dan mengurangi peran negara untuk melindungi pekerja dan keluarganya.

“Terakhir, waktu kerja bagi buruh bisa lebih pajang karena jam lembur bisa 3 jam sehari. Sehingga waktu kerja bisa 11 jam sehari karena kerja lembur diperbolehkan hingga 3 jam sehari. Hal ini akan sangat melelahkan buat buruh karena waktu istirahat berkurang. Sehingga berpotensi membuat pekerja berpotensi menjadi sakit, dan dalam jangka panjang membuat pekerja menderita penyakit akibat kerja. Negara akan merugi karena biaya kesehatan dan BPJS akan meningkat tajam, disamping produktivitas buruh juga akan menurun akibat kelelahan,” pungkasnya.