KabarNewsOne, Jakarta-Permintaan Presiden Jokowi agar masyarakat aktif menyampaikan kritik dan masukan berbuntut panjang.
Wakil Presiden ke-12 RI Jusuf Kalla justru dianggap memprovokasi karena menyinggung kritik pemerintah tanpa dipanggil polisi.
Bagaimana kritik sebagai bentuk komunikasi politik bisa disampaikan dengan aman tidak diadukan ke polisi dan dijerat UU ITE? Bagaimana membedakan kritik yang prakmatis dan kritik yang konstruktif.
Baca juga: Pemerintah Akan Buka Lowongan CPNS 2021.
Menurut menteri Kemenkominfo, Jhoni Platte. Mengkritisi harus bisa membedakan kritik dan Syirik juga nyinyir, kita harus jangan memberikan steatmen yang salah, apalagi menyerang Pemerintah tanpa bukti.Seharusnya masyarakat lebih paham soal kritik yang membuat sistem demokrasi yang lebih baik.
Dimana era komunikasi yang menjadi komunikator politik. Agar bisa menyerap aspirasi masyarakat yang membangun. “Jangan sampai melontarkan Kritik, untuk Memanas-manasi atau memprovokasi keadaan untuk bisa memberikan arah negatif”. Yang terpenting tak memiliki niat memprovokasi rakyat atau membuat runyam keadaan ketika menyinggung kritik tanpa dipanggil polisi. Ucapnya Platte.
Baca juga:Pemerintah Bentuk Gerakan Wakaf Nasional Ekonomi Syariah, Demi Wujudkan Pemerataan.
Sementara itu menurut Refly Harun, yang aktif mengetik Pemerintah, saat ini beliau takut Mengekritik pemerintah karena takut salah, baik kata dan salah ucap dia, tiba-tiba dilaporkan ke Polisi. Ungkapnya.
Lantas, bagaimana jaminan agar masyarakat yang memberi kritik tidak diadukan ke polisi dan dijerat UU ITE? Benarkah ada muatan lain dari kritik yang dilontarkan, Apakah ini adalah bagian dari Demokrasi.Prof Hendri pakar ITE, menyampaikan Masyarakat jangan takut untuk mengkritik, namun sesuai dengan koridor hukum saja. Sopan santun dalam tutur kata.