KabarNewsOne, Jakarta – Usai ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar di Deliserdang, Sumatera Utara, Jumat (5/3), Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, langsung hadir di tengah-tengah kongres. Dia mengajak seluruh kader Partai Demokrat bersatu.
Baca: AHY Anggap KLB Demokrat Sumut, Ilegal
Dalam pidato politik perdananya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB, Kepala Sekretaris Keperisidenan, juga mantan Panglima TNI di era SBY ini meminta para kader Partai Demokrat di seluruh Indonesia untuk menyatukan kekuatan dan berjuang bersama menggapai kembali kejayaan partai berlogo mercy tersebut.
Sementara itu, banyak kalangan akademisi beranggapan, suka tidak suka, realitas politik menunjukkan Demokrat punya dua “nakhoda”. Dua Nakhoda ini punya arah politik yang berbeda. Satu ingin berlabuh ke utara dan satu lagi ke selatan.
Karena itu, menurut Pengamat Komunikasi Politik Emrus Sihombing, ada empat kemungkinan yang bisa terjadi ke depan.
Pertama, Moeldoko dan AHY bersepakat melakukan proses pertukaran kepentingan politik, dengan memunculkan ketua umum yang baru di luar Moeldoko dan AHY, atau keduanya akan berbagi posisi struktural.
Tampaknya ini sulit terwujud, karena masing-masing lebih cenderung mempertahankan posisi dan harga diri di hadapan para pendukung masing-masing. Selain itu, dua sosok ini berbeda jauh status dan posisi strukturnya ketika mereka berkarir di instasi yang sama sebelumnya,” ujar Emrus Sihombing.
Kedua, tetap berisikukuh pada posisi masing-masing sebagai ketua umum yang sah. Pada kemungkinan kedua ini dipastikan akan menguras tenaga, pikiran dan biaya politik yang luar biasa. Dengan situasi ini, citra dan reputasi Demokrat berpotensi semakin tergerus di mata publik.
Ketiga, SBY “turun gunung” sebagai mediator, untuk melakukan pertukaran kepentingan politik antar Moeldoko dan AHY. Bisa saja hasilnya melahirkan kepemimpinan transisi yang disepakati kedua pihak yang ditugaskan menyelenggarakan Kongres Sangat Luar Biasa (KSLB) dalam kurun waktu sesingkat-singkatnya.
Keempat, melaui proses pengadilan. Pola ini tidak akan menyelesaikan persoalan mendasar karena hanya memutuskan ke-legal-an dari dua kepengurusan.
“Sayangnya, walaupun salah satu dari empat kemungkinan di atas yang ditempuh, saya berhipotesa posisi Demokrat berpotensi menurun dalam kontestasi politik ke depan,” ungkap Emrus. (ist)