KabarNewsOne, Jakarta -Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyampaikan bahwa pasca Lebaran tahun ini, buruh di Indonesia menerima kabar yang tidak menggembirakan. Negara ini tengah menghadapi gelombang kedua Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dipicu oleh kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terkait kenaikan tarif barang masuk ke Negeri Paman Sam. Sabtu (5/4/25)
Sebelumnya, Indonesia telah mengalami gelombang pertama PHK yang cukup besar. Berdasarkan catatan Litbang KSPI dan Partai Buruh, sebanyak 60 ribu buruh telah mengalami PHK di lebih dari 50 perusahaan sepanjang Januari hingga Maret 2025. Para buruh yang terkena PHK tersebut mayoritas tidak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR), termasuk buruh Sritex yang hingga Lebaran usai belum juga menerima hak THR mereka.
Said Iqbal menegaskan bahwa pernyataan pemerintah yang menyebut THR akan dibayarkan kemudian hanyalah janji manis semata. THR adalah hak buruh yang harus dibayarkan sebelum Lebaran, tepatnya maksimal H-7. Jika dibayarkan setelah itu, maka secara hukum dan substansi, tidak bisa lagi disebut THR.
Lebih jauh, Said Iqbal menyayangkan perlakuan dari perusahaan aplikator seperti Gojek, Grab, dan Maxim, yang hanya memberikan bantuan hari raya (BHR) sebesar Rp50 ribu kepada para pengemudi. Padahal, ada anggota KSPI yang selama ini mampu menghimpun pendapatan lebih dari Rp30 juta. Seharusnya mereka menerima BHR yang nilainya mendekati Rp900 ribu. Ini menjadi catatan yang sangat miris. Bagi buruh yang di-PHK, jangankan THR, pesangon pun tidak mereka dapatkan.
Kini, gelombang kedua PHK mulai terlihat. Di tingkat perusahaan, beberapa serikat pekerja sudah diajak berunding oleh pihak manajemen mengenai rencana PHK. Namun, belum ada kejelasan soal jumlah buruh yang akan terkena dampak, waktu pelaksanaannya, maupun pemenuhan hak-hak mereka. Perundingan masih dalam tahap awal.
Sebelum Lebaran, tim KSPI dan Partai Buruh juga telah menemukan fakta di lapangan bahwa sejumlah perusahaan berada dalam kondisi goyah dan sedang mencari format untuk menghindari PHK. Namun, dengan diberlakukannya kebijakan tarif impor dari Amerika Serikat mulai 9 April 2025, perusahaan-perusahaan tersebut diprediksi akan terjerembab lebih dalam.
Ironisnya, hingga saat ini, belum ada langkah konkret dari pemerintah untuk mengantisipasi dampak kebijakan tarif AS tersebut. Tidak ada kepastian atau strategi nasional yang disiapkan untuk mencegah pengurangan produksi, penutupan perusahaan, atau PHK massal.
KSPI dan Partai Buruh mencatat bahwa industri-industri yang paling rentan dihantam gelombang kedua PHK meliputi industri tekstil, garmen, sepatu, elektronik, makanan dan minuman yang berorientasi ekspor ke Amerika Serikat, serta industri minyak sawit, perkebunan karet, dan pertambangan.
Dalam kalkulasi sementara Litbang KSPI dan Partai Buruh, diperkirakan akan ada tambahan 50 ribu buruh yang ter-PHK dalam tiga bulan pasca diberlakukannya tarif baru tersebut. Kenaikan tarif sebesar 32% membuat barang produksi Indonesia menjadi lebih mahal di pasar Amerika. Konsekuensinya, permintaan menurun, produksi dikurangi, dan perusahaan terpaksa melakukan efisiensi, termasuk PHK. Bahkan, dalam beberapa kasus, perusahaan memilih menutup operasionalnya.
Perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor tekstil, garmen, sepatu, elektronik, dan makanan-minuman umumnya adalah milik investor asing, bukan domestik. Karena itu, jika situasi ekonomi tidak menguntungkan, investor asing dengan mudah bisa memindahkan investasinya ke negara lain yang memiliki tarif lebih rendah dari Amerika. Sebagai contoh, sektor tekstil kemungkinan akan pindah ke Bangladesh, India, atau Sri Lanka yang tidak terkena kebijakan tarif dari AS.
Namun tidak semua investor asing akan hengkang. Investor dari Taiwan, Korea, dan Hongkong, yang selama ini mendominasi sektor tekstil di Indonesia, mungkin akan tetap memproduksi di Indonesia, tetapi dengan brand atau merk dari negara lain seperti Sri Lanka. Di sisi lain, ada juga industri yang tidak bisa begitu saja pindah, seperti Freeport atau industri kelapa sawit. Namun bukan berarti mereka tidak akan melakukan PHK; justru PHK menjadi langkah paling mudah untuk menekan biaya operasional.
Menyikapi situasi ini, KSPI dan Partai Buruh menyampaikan sejumlah langkah yang harus segera diambil oleh pemerintah. Pertama, perlu dibentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK yang bertugas mengantisipasi terjadinya PHK, memastikan hak-hak buruh dipenuhi, dan memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah, termasuk mendorong re-negosiasi dengan Amerika Serikat. Usulan pembentukan Satgas PHK ini telah disampaikan kepada Wakil Ketua DPR RI dan mendapat respon positif.
Selanjutnya, pemerintah harus segera melakukan re-negosiasi perdagangan dengan AS. Salah satu opsi yang bisa dilakukan adalah mengganti bahan baku dengan produk dari AS, seperti kapas, karena ini bisa membuka peluang pengurangan tarif. Selama ini, Indonesia banyak menggunakan kapas dari China dan Brasil, padahal jika menggunakan bahan baku dari Amerika, tarif bisa lebih ringan.
Dalam kunjungan bersama Kapolri ke perusahaan sepatu di Brebes, terlihat bahwa investor dari Taiwan dan Hongkong dalam sektor sepatu mengalami tekanan akibat kebijakan tarif ini. Sementara Vietnam, yang terkena tarif hingga 46%, mulai menurunkan kapasitas produksinya dan mengalihkan pesanan ke Indonesia. Pemerintah harus melihat peluang ini dan memberi perlindungan kepada industri sepatu yang ada di dalam negeri dengan memberikan kemudahan regulasi agar kapasitas produksi bisa ditingkatkan.
KSPI dan Partai Buruh juga memperingatkan agar Indonesia tidak menjadi sasaran empuk perpindahan pasar dari negara-negara lain ke Indonesia. Sebagai contoh, ketika China kehilangan pasar ekspornya ke Amerika, maka mereka bisa membanjiri Indonesia dengan produk murah. Jika hal ini dibiarkan, maka pasar domestik akan dikuasai barang impor murah, industri dalam negeri tertekan, dan PHK semakin tak terhindarkan.
Karena itu, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2023 harus segera dicabut dalam waktu dekat. Jika tidak, impor akan makin tak terkendali, produk dijual murah, dan pasar dalam negeri terancam. Pada akhirnya, hal ini hanya akan memperburuk gelombang PHK yang sudah ada.(Adv)