“MK Batalkan Syarat Pilkada, Anies Melenggang, Kaesang Tumbang?” 

KabarNewsOne, Jakarta – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh akan mengadakan aksi serentak turun ke jalan, Geruduk Gedung DPR Ri, Senayan, Kamis (23/8/24.

Mereka menolak sikap Badan Legislatif (Baleg) DPR RI terkait UU Pilkada, yang telah di putuskan Mk, Serta Mendukung putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 o

Menanggapi perubahan kilat UU Pilkada sebagai respon DPR atas Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024,

Namun Zainal Arifin Muktar, Ahli hukum tata Negara langsung merespon dan mengomentari menjelaskan, bahwa putusan MK, itu terikat. Kok DPR semata-mata mencari kesempatan. Yang tak ada gunanya.

Bahkan Uceng juga meminta penyelengara Baleg DPR, khusunya Kepada Ahmad Badowi, selaku Wakil ketua Pimpinan Baleg, agar tidak memperkeruh masalah, ” ucapnya, saat berdialog di acara tv swasta

Selain itu juga Menurut politikus PDIP Ahmad Basara, sangat mendukung putusan MK tersebut, yang telah menguji, kita meminta kepada semua pihak, untuk menghormati keputusan.,” tersebut

Sementara ini, pemohon dari Partai Buruh, yang disampakan langsung, Said Salahudin, menjelaskan bahwa Pengaturan pilkada diatur dalam konstitusi melalui Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.

Baik di level undang-undang, pengaturan mengenai pencalonan melalui pintu partai politik diatur melalui 2 (dua) pasal UU Pilkada, yaitu Pasal 39 huruf a (UU 8/2015) dan Pasal 40 UU Pilkada (UU 10/2016). Pasal 40 terdiri dari 5 (lima) ayat, yaitu:

Ayat (1) mengatur tentang mekanisme konstitusional dalam pengusulan pasangan calon oleh partai politik dengan menggunakan syarat ambang batas (treshold). Parpol/gabungan parpol diperbolehkan memilih satu dari dua cara alternatif yang bersifat pilihan: boleh menggunakan ambang batas kursi DPRD sebesar 20% ATAU 25% ambang batas suara sah hasil Pemilu sebesar 25%.

Ayat (2) menjelaskan tentang cara penghitungan jumlah kursi DPRD apabila ambang batas 20% menghasilkan angka pecahan.

Ayat (3) menjelaskan tentang kategori parpol yang berhak mengusulkan paslon apabila memilih pengusulan dengan menggunakan ambang batas 25% suara sah hasil Pemilu.

Ayat (4) mengatur tentang batasan pengusulan paslon oleh parpol yang jumlahnya tidak boleh lebih dari satu pasangan calon.

Ayat (5) mengatur tentang ketentuan khusus penghitungan persentase 20% kursi DPRD yang dikecualikan untuk kursi DPRD Papua dan DPRD Papua Barat.

Dari pengaturan pengusulan paslon dari jalur parpol dalam ketentuan Pasal 40 diatas, Partai Buruh melihat setidaknya ada tiga persoalan yang didalilkan dalam Permohonan Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024, yaitu:

Adanya pembatasan terhadap hak parpol non-seat untuk mengusulkan paslon dengan menggunakan ambang batas 25% suara sah Pemilu berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (3).

Setelah dilakukan perbandingan syarat pengusulan calon antara persyaratan yang dibebankan kepada parpol apabila menggunakan ambang batas 25% suara sah Pemilu dengan persyaratan yang ditentukan untuk calon perseorangan, ternyata syarat yang dibebankan kepada parpol lebih berat dari syarat calon perseorangan.

Pengaturan tentang cara penghitungan 20% jumlah kursi DPRD apabila menghasilkan angka pecahan, sudah diatur pada Pasal 40 ayat (2). Sedangkan pengaturan mengenai cara menghitung jumlah perolehan suara 25% suara apabila menghasilkan angka pecahan belum diatur.

Terhadap persoalan yang pertama, Partai Buruh meminta pembatalan Pasal 40 ayat (3) yang kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan menyatakan Pasal 40 ayat (3) inkonstitusional. Dengan dibatalkannya ketentuan pasal 40 ayat (3), maka MK memutuskan parpol yang mempunyai kursi atau tidak mempunyai kursi DPRD mempunyai hak yang sama dalam pengusulan calon apabila memilih persyaratan ambang batas pencalonan sebesar 25% dari total suara sah hasil pemilu.

Terhadap persoalan yang kedua, Partai Buruh meminta MK agar ketidakadilan syarat pencalonan oleh parpol dan calon perseorangan dijadikan pertimbangan oleh MK dalam memutus Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024. Permohonan inilah dikabulkan MK dengan cara menetapkan persyaratan pencalonan yang baru.

Agar ada keadilan, MK menentukan ambang batas persyaratan pencalonan untuk parpol harus disamakan metodenya dengan calon perseorangan, yaitu berbasis pada Daftar Pemilih tetap (DPT), sebagaimana diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 UU 10/2016. Konsekuensinya, persyaratan ambang batas yang berbasis pada kursi DPRD menjadi tidak relevan lagi untuk digunakan.

Baca juga:

Oleh sebab itu, MK menentukan syarat pencalonan oleh parpol di pilkada hanya menggunakan satu metode saja, yaitu menggunakan ambang batas suara hasil Pemilu 2024 dengan memperhatikan jumlah DPT ditiap daerah dan tidak ada lagi opsi pencalonan dengan menggunakan ambang batas kursi DPRD.

7. Dasar pertimbangan MK terkait syarat pencalonan model baru untuk parpol yang harus diselaraskan dengan syarat pencalonan calon perseorangan dapat dibaca dalam uraian pertimbangan dalam Putusan Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024:

a. Angka [3.13] Halaman 73 Pengaturan mengenai ambang batas perolehan suara sah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi tidak berdasar dan kehilangan rasionalitas …”

“Oleh karena itu, syarat persentase partai politik atau gabungan partai politik perserta pemilu untuk dapat mengusulkan pasangan calon harus pula diselaraskan dengan syarat persentase dukungan calon perseorangan. Sebab, mempertahankan persentase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 sama artinya dengan memberlakukan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi bagi semua partai politik peserta pemilu.”

b. Angka [3.13] Halaman 75

“Dengan pemaknaan sebagaimana dikemukakan di atas, penghitungan syarat untuk mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu hanya didasarkan pada hasil perolehan suara sah dalam pemilu pada provinsi/kabupaten/kota bersangkutan dengan besaran sebagaimana yang telah dimaknai oleh Mahkamah di atas.”

8. Dasar pertimbangan MK yang memutuskan tidak ada lagi persyaratan pencalonan oleh parpol dengan menggunakan ambang batas kursi DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2), dinyatakan Mahkamah dalam pertimbangan Angka [3.15] Halaman 75:

“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, meskipun ketentuan norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016 telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana telah dipertimbangan dalam Paragraf [3.13], maka sebagai konsekuensi yuridis dan logis terhadap pasal-pasal lain termasuk Pasal 40 ayat (2) UU 10/2016 dan ketentuan lain yang terkait dan terdampak pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan a quo.”(Tim)