KabarNewsOne, Jakarta -Presiden KSPI yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyampaikan bahwa buruh menuntut kenaikan upah minimum tahun 2025 sebesar 8% hingga 10%.
Adapun dasar perhitungan kenaikan tersebut adalah, pertama, inflasi tahun 2025 yang diperkirakan sebesar 2,5% dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,2%. Jika dijumlahkan, maka inflasi dan pertumbuhan ekonomi menghasilkan angka 7,7%. Jum’at (11/10/24)
Baca juga: Buruh Menuntut Kenaikan Upah & Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja
Selain itu, di kawasan industri, pada tahun 2024, buruh mengalami “nombok” atau tambahan biaya hidup, bukan kenaikan upah. Sebagai contoh, inflasi di kawasan industri, terutama di Jabotabek, tercatat 2,8%, sementara kenaikan upah hanya 1,58%. Artinya, buruh harus nombok sekitar 1,3% (selisih antara inflasi 2,8% dan kenaikan upah 1,58%). Dengan demikian, angka 8% sangat logis, yaitu berasal dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi ditambah faktor “nombok” sebesar 1,3%.
Kedua, ada faktor disparitas upah yang juga menjadi perhatian. Di wilayah-wilayah yang berbatasan, kesenjangan upah atau disparitas masih tinggi. Misalnya, upah di Karawang lebih tinggi dibandingkan di Purwakarta, dan upah di Purwakarta lebih tinggi dibandingkan di Subang. Untuk mengatasi kesenjangan ini, ditambahkan angka disparitas sebesar 2%.
Baca juga:Buruh Minta Kenaikan Upah Minimum Tahun 2025 Sebesar 8 Hingga10 Persen
“Berdasarkan analisis litbang Partai Buruh dan KSPI, tambahan ini menghasilkan kenaikan 10%, untuk mencegah kesenjangan yang semakin melebar,” ujar Said Iqbal.
Selain itu, KSPI dan Partai Buruh menolak penggunaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 dalam perhitungan upah minimum. KSPI menilai konsep batas bawah dan batas atas dalam PP ini tidak masuk akal dan tidak ada dalam undang-undang sebelumnya, termasuk yang diatur dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Rumus yang dibuat BPS dan Kemenaker dianggap menyesatkan publik dan memperburuk kesejahteraan masyarakat.
Said Iqbal menegaskan, daya beli buruh telah menurun dalam lima tahun terakhir. Litbang KSPI dan Partai Buruh menemukan bahwa dalam periode tersebut, upah riil buruh turun 30%. Artinya, daya beli buruh juga menurun 30%. Selama tiga tahun terakhir, kenaikan upah bahkan nol persen, dan dalam dua tahun terakhir kenaikan upah berada di bawah angka inflasi, yang otomatis menggerus nilai upah riil buruh.
Dalam lima bulan terakhir 2024, terjadi deflasi yang menunjukkan penurunan daya beli masyarakat. Di kalangan menengah atas, deflasi berarti masyarakat sudah menghabiskan tabungan mereka untuk kebutuhan dasar, sehingga mengurangi konsumsi barang sekunder dan tersier. Di kalangan menengah bawah, termasuk buruh, petani, nelayan, dan pekerja lainnya, deflasi terjadi karena pendapatan yang stagnan dan harga barang yang tetap naik, memperparah penurunan daya beli.
“Buruh meminta agar kenaikan upah minimum 2025 tidak dijadikan ajang main-main oleh Menteri Tenaga Kerja ad interim, serta birokrat Kemenaker di daerah. Kami mengimbau agar birokrat menunggu pemerintah baru di bawah Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menentukan kenaikan upah minimum. Jangan sampai aturan yang merugikan pekerja dikeluarkan, terutama sebelum 1 November,” tegasnya.
Selain itu, terkait Omnibus Law UU Cipta Kerja yang akan segera diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, KSPI dan Partai Buruh meminta agar tujuh poin utama yang mereka ajukan dalam uji materi dapat dikabulkan. Tujuh poin tersebut adalah:
Pertama, penolakan upah murah, yang menjadi penyebab penurunan daya beli akibat Omnibus Law. KSPI mengusulkan agar upah minimum dikembalikan ke mekanisme UU Nomor 13 Tahun 2003, dengan mempertimbangkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) atau perhitungan makroekonomi berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Kedua, penghapusan outsourcing, karena KSPI melihat Omnibus Law memungkinkan negara menjadi agen outsourcing yang hanya menguntungkan perusahaan dan memperbudak buruh secara modern.
Ketiga, penghapusan kemudahan PHK. Saat ini, banyak perusahaan melakukan PHK melalui aplikasi pesan tanpa memberikan pesangon atau surat resmi. Hal ini tidak sejalan dengan perlindungan terhadap pekerja.
Kelima, peningkatan nilai pesangon yang dianggap terlalu rendah. Data Kemenaker menunjukkan bahwa lebih dari 52.000 pekerja mengalami PHK, sementara data Litbang KSPI menunjukkan angka mencapai 127.000 lebih. Janji Omnibus Law untuk menambah lapangan kerja ternyata tidak terbukti, bahkan sebaliknya, banyak perusahaan yang melakukan PHK demi mendapatkan tenaga kerja baru dalam bentuk outsourcing.
Keenam, pembatasan penggunaan kontrak kerja yang tidak memiliki batas waktu. Hal ini membuat pekerja dalam status kontrak seumur hidup tanpa kepastian kerja.
Ketujuh, peningkatan perlindungan terhadap pekerja perempuan selama cuti haid dan cuti melahirkan.
Hal lain yang juga disoroti adalah pengembalian hak cuti panjang setelah enam tahun bekerja, yang telah dihapus oleh Omnibus Law. Di negara-negara industri, hak cuti panjang masih diberikan, bahkan suami yang istrinya melahirkan pun berhak mendapatkan cuti.
Baca juga: Aksi Buruh Kawal MK terhadap judicial review UU Pilkada serta Tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja
“KSPI dan Partai Buruh berharap Mahkamah Konstitusi mengembalikan ketentuan ketenagakerjaan seperti yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, sambil menunggu pemerintahan baru di bawah Presiden terpilih Prabowo untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terkait ketenagakerjaan demi menutup kekosongan hukum,” pungkasnya, (Aan)